Sistem Presidensial VS Sistem Multi Partai
Bebagai kalangan menuding sistem presidensial yang bersinergi dengan sistem multipartai menjadi penyebab utama ketidakefektifan pemerintahan di Indonesia selama ini. Keinginan untuk memperkuat sistem presidensial senantiasa terhalang dengan ketidakefektifan sistem multipartai. Kian banyak partai kian banyak fraksi dan kepentingan di parlemen.
Sejauh ini jumlah anggota koalisi yang tambun sangat terbukti tidak berpengaruh positif terhadap kinerja pemerintah dalam mengeksekusi program-program yang prorakyat. Menteri-menteri yang mewakili parpol seolah-olah tidak ikut bertanggung jawab terhadap mandegnya roda pemerintahan. Bobroknya, parlemen cenderung lebih berfungsi sebagai alat bargaining politik dan lobi kekuasaan yang hanya mengutamakan kepentingan kelompok/partainya yang mengatasnamakan rakyat.
Salah satunya karena banyak yang lebih suka menarik isu-isu hukum ke ranah politik (seperti isu Bank Century dan hak angket mafia pajak) dan bukannya memberikan dorongan dan pengawalan yang ketat pada institusi penegak hukum agar persoalannya tidak terpolitisasi. Menyalahkan ketidakstabilan pemerintah karena antara sistem multipartai dan sistem presidensial tidak koheren sesungguhnya tidak tepat juga. Persoalan utamanya terletak pada pentingnya karakter kepemimpinan presiden yang kuat, tegas, dan berani. Sebab, secara konstitusional dalam sistem presidensial, pemakzulan terhadap presiden bukan persoalan sederhana. Namun, banyak pihak menilai justru karakter kepemimpinan tersebut yang kurang dimiliki SBY.
Penilaian tersebut jelas akan keliru bila Presiden cepat mengambil sikap dan tindakan tegas kepada anggota koalisinya yang telah bermanuver dalam kasus hak angket pajak. Isu yang beredar adalah bahwa Presiden tersandera oleh politik transaksional yang ruwet dan dilematis. Di satu sisi Partai Gerindra sudah menyatakan hasratnya untuk masuk ke dalam barisan koalisi. Di pihak lain Presiden seolah masih berpikir keras tentang resiko politiknya bila menyingkirkan PKS dan apalagi Partai Golkar dari keanggotaan koalisinya. Sehingga SBY yang sebelumnya telah memberi angin evaluasi koalisi dan reshufle beberapa menteri atas 1-2 partai pada akhirnya menyatakan tidak ada reshufle dalam waktu dekat, hal itu diumumkan setelah nyata-nyata buntunya hasil komunikasi dengan PDI-P. Sungguh ruwet karena sudah tersandera oleh politik transaksional yang dilematik!
Desain Sistem Politik Indonesia
Desain sistem politik di Indonesia yang ideal menurut hasil diskusi Formappi mestinya merupakan sinergi dari:
Sistem kepartaian yang harus dibangun dengan mempertimbangkan realitas sosiologis masyarakat, mampu mengidentifikasi bentuk-bentuk cleavege social, serta memiliki visi yang jelas mengenai sistem pemilu dan sistem pemerintahan; Permasalahannya di Indonesia saat ini partai justru lebih mementingkan urusan kelompoknya daripada realitas sosiologis masyarakat, menggunakan segala cara untuk bisa memenangkan pemilu serta mendapatkan jatah kekuasaan.
Sistem pemilu yang hendaknya menetapkan tujuan prioritas yang didasarkan pada kebutuhan dan situasi politik, dilakukan atas dasar pemenuhan keterwakilan dan (juga) mendorong pemerintahan yang efektif, serta pelaksanaan pemilu yang memperhatikan variable waktu antara pemilu legislatif dan eksekutif, dan yang memiliki visi mengenai sistem kepartaian dan sistem pemerintahan;
Sistem pemerintahan yang memiliki hubungan struktur yang jelas antara pemerintahan pusat dan pemerintah daerah, susunan pemerintahan yang berimbang antara legislatif, eksekutif dan yudikatif, dan membawa visi sistem kepartaian dan sistem pemilu.
Kecenderungan politik saat ini mengarah pada kesepakatan tidak tertulis tentang arah substansi pembaruan sistem politik, yaitu: sistem kepartaian adalah pluralisme terbatas (pluralisme moderat) yang berarti terdapat 3-5 partai dominan di parlemen; sistem pemilu menerapkan prinsip proporsional terbuka; dan sistem pemerintahan memperkuat sistem presidensiil. Namun jelas kesepakatan semacam ini belum tuntas karena masih memerlukan elaborasi lebih rinci dalam pengaturan pelaksanaannya yang harus menjadi substansi revisi undang undang politik untuk menuju desain sistem politik Indonesia yang ideal.
Calon Presiden Independen
Tentunya akan menjadi terobosan perpolitikan baru, seandainya Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menolak uji materi UU No 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang dipermasalahkan oleh calon presiden independen pada pilpres 2009 lalu, walaupun pada saat itu 3 anggota hakim mengajukan dissenting opinion mengenai keputusan itu. Partai akan menjadi pilihan nomor dua atau bahkan akan ditinggalkan oleh simpatisannya apabila capres independen bisa dimajukan sehingga seorang presiden terpilih akan lebih leluasa untuk membentuk kabinetnya yang ideal profesional (zaken kabinet) tanpa ada politik dagang sapi atau tuntutan bargaining dengan partai politik.
Namun jika bisa berandai-andai dengan sistem politik yang telah berjalan sekarang, dulu ketika SBY mengajukan diri menjadi capres 2009-2014 pada awal kampanye alangkah baiknya terlebih dulu berani menetapkan zaken kabinet untuk mengisi posisi-posisi strategis menterinya jika perlu sudah diplot sosok profesional siapa yang akan ikut bekerja di kabinetnya hanya maksimal 15-40% diisi dari parpol pendukung dan tegas tertulis membatasi dirinya maupun menteri-menterinya dari kepengurusan partai politik mungkin akan lain cerita tidak seruwet kondisi perpolitikan sekarang ini yang sangat kental tarik menarik kepentingan partai untuk modal 2014. Asal kabinet dan pemerintahan berjalan efektif bekerja profesional dan nyata hasilnya untuk kepentingan rakyat bukan untuk kepentingan parpol tentunya rakyat akan selalu menguatkan mandatnya untuk sang presiden dan jajaran pemerintah walaupun banyak rongrongan partai ataupun dagelan perpolitikan di parlemen.
Sayang itu hanya terjadi dalam istilah pengandaian...